Sanubari Teduh – Sembilan Gangguan Bagian 2/10 (209)
Video Youtube : https://youtu.be/xbprzaVjLyk
Saudara se-Dharma sekalian, iklim terus berganti, waktu terus berlalu. Saat satu hari berlalu, berarti usia kita juga berkurang sehari, hanya karma yang terus mengikuti. Baik karma baik maupun karma buruk setiap hari kita melakukannya hingga terus terakumulasi. Meski waktu terus berlalu dan usia terus berkurang hari demi hari, tetapi karma terus tercipta lewat pikiran dan perbuatan kita. Segala yanag kita pikirkan, segala yang kita katakan dan segala yang kita lakukan, semuanya terus mengakumulasi karma. Jadi makhluk makhluk awam memiliki banyak noda batin. Bukan hanya makhluk awam yang memiliki noda batin sebagai gangguan. Sesungguhnya, Buddha juga mngalami sembilan gangguan. Meski Buddha telah mencapai kebuddhaan, tetapi karena buah karma belum habis diterima, beliau tetap harus menerimanya.
Sembilan Gangguan:
- Menyiksa diri selama enam tahun
- Fitnaan Sundari
- Kaki tertusuk ranting
- Makan makanan kuda
- Pembantaian suku Sakya oleh raja Virudhaka
- Tidak dapat makanan saat pindapatha
- Fitnahan Cinca
- Terluka akibat batu besar yang di jatuhkan Devadatta
- Harus menahan hawa dingin dengan tiga helai jubah
Sebelum mencapai kebuddhaan, Buddha menjalani enam tahun praktik menyiksa diri dan menghadapi banyak kesulitan.
Yang kedua dari sembilan Gangguan: Fitnahan Sundari
Sundari menyebar fitnah atas Buddha, karena merasa dihormati oleh Buddha, Sundari mulai menyebar fitnah tanpa sebab. Apakah sebabnya kejadian ini bisa terjadi ? ( Sutra tenetang Sebab dan Kondisi )
Yang kedua adalah gangguan dari seorang pertapa wanita yang bernama Sundari. Dia menfitnah Buddha dan anggota Sangha. Fitnahannini adalah gangguan bagi Buddha . Pada sat Buddha berada di vihara Jetavana. Beliau mengumpulkan sekelompok anggota Sangha untuk melatih diri. Ini terjadhi tidak lama setelah Buddha mencapai pencerahan. Banyak orang mulai menerima ajaran Buddha. Baik raja, mentri para pria maupun perempuan di masyarakat, semuanya sangat mengagumi Buddha. Karena itu, orang yang menyatakan berlindung pada Buddha dan bersedia menerima ajaran Buddha sangat banyak.
Namun pada saat itu ada banyak sekte agama lain. Pada masa Buddha hidup di India terdapat banyak aliran agama. Karena itu, pertapa aliran lain merasa iri. Pertapa wanita ini adalah salah satu bagian dari aliran lain. Pertapa wanita ini mengaku dirinya mengandung. Dia mengikat buah kundur di perutnya, lalu pergi ke kota untuk memberitahu semua orang, “ Murid dari Buddha Sakyamuni tidak suci.” “Buddha Sakyamuni terus membabarkan Dharma-Nya dan terus mengatakan bahwa ajara-Nya bisa melampaui keduniawian, bisa melenyapkan noda batin, bisa mengikis nafsu dan kemelekatan” Sundari berkata “ Itu semua palsu “ “ Saya adalah bukti yang terbaik” “ Lihatlah saya akan segera melahirkan “ “ Ini karena salah seorang pria dari kelompok Sangha menaruh rasa cinta kepada saya” “ Namun kini, dia sudah tidak menghiraukan saya.” “Saya sudah ditinggalkan” Dia terus memfitnah Buddha dn Sangha. Akibatnya orang-orang di kota mulai ragu pada Sangha dan mulai bergunjing.
Saat mendengar berita ini, raja pun berkunjung ke tempat Buddha dan bertanya “ Apakah benar anggota Sangha-Mu melakukan hal seperti itu?” Buddha tidak menjawab. Raja melihat para anggota Sangha dan menungguh apakah ada yang menjawab. Melihat Buddha tidak menjawab, anggota Sangha juga tidak memberi jawaban. Tiba-tiba terdengar suara Sundari yang berteriak dengan keras sambil berjalan masuk. Dia terus berteriak dan berkata bahwa di dalam Sangha ada orang seperti itu. Dia datang untuk menuntut keadilan. Dia terus berteriak seperti orang gila. Karena sikapnya yang histeris, tali ikatannya menjadi longgar dan buah kundur yang terikat di perutnya jatuh. Karena itulah akal bulusnya ketahuan. Raja menoleh melihat Buddha, tetapi Buddha tetap bergeming. Saat buah itu jatuh, wanita itu tiba-tiba terdiam. Semua orang yang ada disana tetap hening. Sundari pun membuka mulut untuk mengakui kesalahannya. Dia berkata, “Saya merasa ajaran Buddha sangat universal” “ Karena timbul rasa iri dalam hati, saya memfitnah Buddha dan Sangha. “.
Setelah melihatnya, raja bertanya kepada Buddha. “ Yang Dijunjung, apakah sejak awal Engkau sudah tahu bahwa Sangha-Mu tidak bersalah sehingga Engkau tidak bergeming ?” Sambil tersenyum Buddha mengelengkan kepala dan berkata, “Hukum sebab akibat sangat menakutkan “ “Saat karma buruk berbuah itu hal yang paling mengkhawatirkan “ Raja kembali bertanya “Yangb Dijunjung, mengapa bisa terjadi hal seperti ini ? “ Mohon Buddha babarkan ajaran kepada kami” Buddha pun mulai menceritakannya. “Berkalpa-kalpa yang lalu, di kota Varanasi, ada seorang penjudi yang bernama Mata Murni” “ Saat itu ada seorang wanita tunasusila yang bernama Rupa Rusa” “Mata Murni dan Rupa Rusa mulai mengenal satu sama lain” “ Karena timbul niat yang tidak baik, Mata Murni mengajak Rupa Rusa untuk pergi keluar kota dengan naik pedati “ “ Pedati itu membawa mereka ke tempat terpencil” , di sebuah taman di dalam hutan mereka berdua bermesraan dan melakukan tindakan asusila atas dasar saling menyukai” “ Ditaman itu, tinggal seorang pertapa yang sudah mencapai tingkat PratyekaBuddha” Dalam proses pelatihannya pertapa itu keluar setiap hari untuk mengumpulkan makanan. Pada saat pertapa itu pergi ke kota untuk mengumpulkan makanan sepasang pria dan wanita itu telah bermesraan di dalam taman itu. Lalu apa yang terjadi berikutnya. ? Mata Murni membunuh Rupa Rusa. Apa yang dia lakukan setelah membunuh orang ? Mata murni sangat ketakutan, lalu dia membawa jenazah Rupa Rusa ke tempat Pratyekabuddha itu melatih diri. Dia mengali sebuah liang untuk mengubur Rupa Rusa disana. Setelah melakukan itu, Mata Murni merasa sangat tidak tenang, lalu meninggalkan tempat itu. Karena jenazah Rupa Rusa ditemukan di tempat Pratyekabuddha itu, orang-orang berasumsi dia adalah pelakunya. Karena itu raja menjatuhkan hukuman mati untuk Pratyekabuddha itu. Setelah melakukan itu hati Mata Murni selalu merasa tidak tenang. Dia merasa sangat bersalah. Akhirnya dia keluar untuk mengaku salah demi kembali mendapat ketenagan. Demikianlah kebenaran terungkap.
Setelah menceritakan hal ini Buddha kembali berkata kepada sang raja “Baginda, tahukah anda ? “Mata Murni pada saat itu sekarang adalah Aku, Buddha Sakyamuni.” “Rupa Rusa sekarang adalah Sundari” Inilah jalinan jodoh.” Meski hal ini terjadi pada berkalpa-kalpa yang lampau, tetapi sejak saat itu selama jangka waktu yang sangat panjang, benih itu terus mengikuti-Ku” “Kini setelah berkalpa-kalpa kemudian meski Aku sudah mencapai kebuddhaan, benih karma iu tetap terus mengikuti-Ku” Ia terus mengikutiku dari kehidupan ke kehidupan dan membuat-ku sangat terganggu hingga saat ini “Kini semuanya sudah berakhir” tetapi Aku tetap harus menerima buah Karma-Ku “
Dalam kehidupan sehari-hari setiap pikiran, ucapan dan tindakan kita semuanya adalah benih. Sebagaimana benih yang ditanam, demikianlah buah yang akan kita tuai.
Jadi, dalam kehidupan sehari-hari, jika kita selalu dapat membangkitkan niat baik, bertutur kata baik, maka kehidupan kita akan lebih terjamin. Kita tak terus terjerat oleh karma buruk, kita bukan hanya tidak akan terjerat karma buruk dan gangguan, sebaliknya akan bertemu pendukung apapun yang akan kita lakukan selalu ada jalinan jodoh baik yang membantu mewujudkan tekad pelatihan diri kita. Jadi pelatihan diri dijalankan dalam kesharian. Ajaran Buddha harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita juga harus bersumbangsih sebagai Bodhisattva dunia. Inilah yang sering saya katakan kepada kalian. Jadi kita harus selalu bersungguh hati.
Demikianlah diintisarikan dari Video Sanubari Teduh – Sembilan Gangguan Bagian 2 (209) https://youtu.be/xbprzaVjLyk
Sanubari Teduh : Disiarkan di Stasiun Televisi Cinta Kasih DAAITV INDONESIA : Setiap Minggu 05.30 WIB ; Tayang ulang: Sabtu 05.30 WIB
Channel Jakarta 59 UHF, Medan 49 UHF
TV Online : https://www.mivo.com/#/live/daaitv
GATHA PELIMPAHAN JASA
Semoga mengikis habis Tiga Rintangan
Semoga memperoleh kebijaksanaan dan memahami kebenaran
Semoga seluruh rintangan lenyap adanya
Dari kehidupan ke kehidupan senantiasa berjalan di Jalan Bodhisattva